Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan bagi yang mampu. Di antara rukun dan wajib haji, ihram menempati posisi yang sangat fundamental. Lantas, bagaimana jika seseorang melaksanakan haji tanpa ihram? Apakah ibadahnya sah? Mari kita telaah lebih dalam.
Pentingnya Ihram dalam Ibadah Haji: Sebuah Kajian Fiqih
Ihram secara etimologi berarti "mengharamkan". Dalam konteks ibadah haji, ihram adalah niat untuk memulai manasik haji atau umrah, yang diiringi dengan larangan-larangan tertentu (muharramat al-ihram) dan penggunaan pakaian khusus. Ia menjadi gerbang awal menuju kesempurnaan ibadah haji. Meninggalkan ihram sama halnya dengan tidak memulai ibadah haji itu sendiri.
Dalil dari Al-Quran tentang Ihram
Meskipun tidak ada ayat Al-Quran yang secara eksplisit menyebutkan kata "ihram" dalam konteks pakaian atau niat secara langsung, namun terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan kewajiban menjaga kehormatan dan larangan-larangan saat berada di Tanah Haram dan dalam keadaan ibadah, yang secara implisit menunjukkan pentingnya ihram.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 1:
$ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ $
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.
Ayat ini secara jelas melarang berburu bagi orang yang sedang berihram, yang menunjukkan adanya keadaan khusus (ihram) dengan aturan-aturan tertentu.
Dalil dari Hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
Banyak hadis Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang menjelaskan tentang ihram dan miqat (tempat memulai ihram). Hadis-hadis ini menjadi landasan utama bagi hukum ihram.
* Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu 'anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
« إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَا تَحِلُّ لِأَحَدٍ بَعْدِي، وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ، ثُمَّ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِالْأَمْسِ، فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ »
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal bagi seorang pun sesudahku. Sesungguhnya dihalalkan bagiku pada waktu tertentu di siang hari, kemudian kembali keharamannya pada hari ini sebagaimana keharamannya kemarin. Maka hendaknya yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan kesucian Tanah Haram yang mengharuskan adanya penghormatan khusus, salah satunya melalui ihram.
* Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang miqat:
« لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذُو الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ وَمِصْرَ الْجُحْفَةُ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنُ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمُ، وَلِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتُ عِرْقٍ، وَلِأَهْلِ الْمَشْرِقِ الْعَقِيقُ. هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ مَرَّ عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ »
“Miqat bagi penduduk Madinah adalah Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir adalah Juhfah, bagi penduduk Najd adalah Qarnul Manazil, bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam, dan bagi penduduk Irak adalah Dzatu Irqin. Itulah miqat-miqat bagi mereka dan bagi siapa saja yang melewati miqat tersebut dari selain penduduknya yang ingin berhaji atau berumrah. Barangsiapa yang tinggal di bawah miqat tersebut, maka ihramnya dari tempat ia memulai, sampai penduduk Mekah (ihramnya) dari Mekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini secara gamblang menetapkan miqat sebagai batas wajib memulai ihram, yang menegaskan bahwa ihram adalah permulaan haji atau umrah.
* Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
« لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ »
“Wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab (cadar) dan tidak boleh memakai sarung tangan.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan larangan-larangan khusus bagi orang yang berihram, menandakan bahwa ihram adalah kondisi khusus yang memiliki aturan tersendiri.
* Dari Ka'ab bin 'Ujrah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
« مَرَّ بِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مُحْرِمٌ فَقَالَ: أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: فَاحْلِقْ، وَاطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوْ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ انْسُكْ شَاةً »
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam melewati saya ketika saya sedang ihram, lalu beliau bertanya: ‘Apakah kutu di kepalamu mengganggumu?’ Saya menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Maka cukurlah, dan berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari, atau sembelihlah seekor kambing.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini juga menegaskan adanya larangan-larangan ihram (seperti memotong rambut) dan konsekuensi jika melanggarnya.
Perbedaan Pendapat Ulama tentang Hukum Haji Tanpa Ihram
Mengenai status haji seseorang yang tidak memakai ihram, para ulama memiliki pandangan yang beragam, namun mayoritas sepakat bahwa ihram adalah bagian yang sangat krusial.
* Mayoritas Ulama (Jumhur Fuqaha):
Mayoritas ulama, termasuk dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, sepakat bahwa ihram adalah salah satu rukun haji. Jika ihram ditinggalkan, maka haji seseorang tidak sah. Mereka berpendapat bahwa ihram adalah pintu masuk ke dalam ibadah haji. Tanpa ihram, seseorang belum dianggap memasuki ibadah haji secara syar'i.
* Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm, Juz 2, Bab "Man Lamma Yuhrim min Miqatihi", halaman 174, menyatakan:
« وَمَنْ أَخَّرَ الْإِحْرَامَ عَنْ الْمِيقَاتِ عَمْدًا أَوْ جَهْلًا أَوْ نِسْيَانًا فَعَلَيْهِ دَمٌ وَيَجِبُ عَلَيْهِ الرُّجُوعُ إِلَى الْمِيقَاتِ إِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ. فَإِنْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ فَحَجُّهُ صَحِيحٌ وَعَلَيْهِ دَمٌ »
“Barangsiapa yang menunda ihram dari miqat, baik secara sengaja, karena tidak tahu, atau lupa, maka ia wajib membayar dam (denda) dan wajib baginya kembali ke miqat jika ia belum wukuf di Arafah. Jika ia telah wukuf di Arafah, maka hajinya sah dan ia wajib membayar dam.”
Pendapat Imam Syafi'i ini menggarisbawahi bahwa miqat (tempat memulai ihram) adalah wajib haji, dan jika dilewati tanpa ihram, harus kembali. Namun, jika sudah sampai pada rukun wukuf di Arafah, haji tetap sah dengan konsekuensi dam. Ini menunjukkan bahwa ihram itu sendiri adalah rukun, sementara memulai ihram dari miqat adalah wajib.
* Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal juga berpendapat serupa, bahwa melewati miqat tanpa ihram mewajibkan dam. Jika tidak kembali ke miqat untuk berihram dan sudah wukuf di Arafah, haji tetap sah dengan dam. Namun, jika seseorang sama sekali tidak berniat ihram dari awal hingga akhir manasik haji, maka haji tersebut tidak sah. Ihram dalam pandangan mereka adalah rukun haji yang tak terpisahkan.
* Pandangan Sebagian Kecil Ulama dan Situasi Kekecualian:
Beberapa ulama memberikan kelonggaran dalam kasus tertentu, terutama jika ada ketidaktahuan atau keadaan darurat. Namun, kelonggaran ini biasanya tetap disertai dengan kewajiban dam (denda), bukan berarti haji tanpa ihram dianggap sah secara mutlak tanpa konsekuensi.
* Syekh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai hukum orang yang melewati miqat tanpa ihram. Beliau menjelaskan bahwa jika seseorang melewati miqat tanpa niat haji atau umrah, maka tidak ada kewajiban apa pun baginya. Namun, jika ia berniat haji atau umrah, ia wajib kembali ke miqat untuk berihram. Jika tidak memungkinkan untuk kembali, maka ia wajib membayar dam berupa menyembelih seekor kambing dan dibagikan kepada fakir miskin di Mekah. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan ihram dari miqat adalah pelanggaran wajib haji, yang menuntut dam. Namun, jika ihramnya sendiri ditinggalkan (tidak ada niat ihram sama sekali), maka haji tidak sah.
Intinya, ihram adalah rukun haji yang fundamental. Jika seseorang tidak berihram sama sekali (tidak ada niat untuk masuk dalam ibadah haji dan memakai pakaian ihram), maka ibadah hajinya tidak sah. Namun, jika ia berihram tetapi tidak dari miqat yang ditentukan (misalnya berihram setelah melewati miqat), maka hajinya tetap sah tetapi ia wajib membayar dam (denda) sebagai konsekuensi meninggalkan salah satu wajib haji.
Kesimpulan
Berdasarkan dalil Al-Quran, hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan pandangan mayoritas ulama, haji tanpa memakai ihram adalah tidak sah. Ihram merupakan rukun haji yang berarti niat untuk memasuki ibadah haji dengan segala larangan dan ketentuannya. Jika seseorang tidak berihram sama sekali, ia belum dianggap memulai ibadah haji.
Adapun jika seseorang melewati miqat tanpa berihram, ia telah meninggalkan salah satu wajib haji. Dalam kondisi ini, ia wajib kembali ke miqat untuk berihram. Jika tidak memungkinkan, maka hajinya tetap sah namun ia wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor kambing yang dagingnya dibagikan kepada fakir miskin di Tanah Haram. Namun, perlu ditekankan bahwa ini berlaku jika ia tetap berniat ihram setelah melewati miqat, bukan berarti ia tidak berihram sama sekali.
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap jamaah haji untuk memahami dan melaksanakan ihram dengan benar sesuai syariat, agar ibadah hajinya diterima dan sempurna di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Referensi:
* Al-Quranul Karim
* Sahih Bukhari
* Sahih Muslim
* Al-Umm oleh Imam Asy-Syafi'i
* Fatawa Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin
* Kitab-kitab Fiqih perbandingan mazhab.
#Haji #Ihram #RukunHaji #WajibHaji #HukumIslam #FiqihHaji #IbadahHaji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar