Pertanyaan:
Saya sudah pernah menunaikan ibadah haji. Saat ini, saya kembali memiliki kesempatan untuk berhaji, namun di sisi lain, saya memiliki pekerjaan yang sangat mendesak di Makkah. Apakah saya diperbolehkan mengenakan pakaian kerja saat hari haji, padahal saya tetap berniat untuk melaksanakan ibadah haji?
Pendahuluan:
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang memiliki syariat dan tata cara yang ketat, salah satunya adalah kewajiban mengenakan pakaian ihram bagi jamaah laki-laki. Pakaian ihram ini memiliki makna simbolis, yaitu menanggalkan atribut duniawi dan menyamakan derajat di hadapan Allah SWT. Namun, bagaimana jika seseorang yang sudah pernah berhaji dihadapkan pada situasi mendesak terkait pekerjaan saat pelaksanaan haji? Apakah ada keringanan dalam syariat terkait masalah ini?
Dasar Hukum dan Pandangan Ulama:
Kewajiban mengenakan pakaian ihram saat haji dan umrah adalah mutlak bagi laki-laki. Pakaian ihram terdiri dari dua lembar kain putih tanpa jahitan yang menutup pundak dan pinggang, serta tidak boleh memakai penutup kepala. Dalil mengenai hal ini sangat banyak, baik dari Al-Qur'an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 196:
> "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah."
>
Penyempurnaan haji ini mencakup seluruh rukun dan wajib haji, termasuk ihram. Hadis-hadis Nabi SAW juga menjelaskan secara rinci tentang pakaian ihram, salah satunya hadis dari Ibnu Umar RA:
> "Janganlah seorang laki-laki memakai baju, celana, serban, atau penutup kepala. Hendaklah ia memakai sarung dan selendang." (HR. Bukhari dan Muslim)
>
Mengenai kondisi di mana seseorang sudah pernah haji namun memiliki pekerjaan mendesak, syariat Islam pada dasarnya tidak membedakan antara haji pertama atau haji kedua, ketiga, dan seterusnya. Kewajiban ihram tetap berlaku bagi siapa pun yang berniat melaksanakan ibadah haji.
Para ulama fiqh, khususnya dari madzhab Syafi'i, sangat menekankan pentingnya menjaga aturan ihram. Dalam kitab Fathul Qarib karya Ibnu Qasim Al-Ghazi, dijelaskan secara gamblang tentang hal-hal yang diharamkan saat ihram, termasuk memakai pakaian berjahit bagi laki-laki. Pelanggaran terhadap larangan ihram ini dapat berkonsekuensi pada kewajiban membayar dam (denda).
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, Juz 7, halaman 240, menegaskan bahwa:
> "Pakaian ihram bagi laki-laki adalah dua lembar kain. Tidak boleh memakai baju, celana, serban, penutup kepala, atau khuf (sepatu) kecuali jika tidak menemukan sandal dan ia memotongnya di bawah kedua mata kaki."
>
Tidak ditemukan dalam literatur fiqh klasik maupun kontemporer yang memperbolehkan seorang jamaah haji, meskipun sudah pernah berhaji, untuk mengenakan pakaian kerja atau pakaian berjahit saat berada dalam keadaan ihram, dengan alasan apapun termasuk pekerjaan mendesak.
Kesimpulan/Jawaban Akhir:
Berdasarkan dalil-dalil syara' dan pandangan ulama fiqh, tidak diperbolehkan bagi seseorang yang sedang berihram haji, meskipun sudah pernah haji sebelumnya, untuk mengenakan pakaian kerja atau pakaian berjahit. Pakaian ihram adalah salah satu wajib haji yang tidak dapat ditinggalkan atau diganti dengan alasan apapun, termasuk pekerjaan yang mendesak.
Jika Anda tetap mengenakan pakaian kerja saat dalam keadaan ihram, maka Anda wajib membayar dam sebagai tebusan atas pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, sangat penting untuk menata prioritas dan mengatur waktu agar ibadah haji dapat dilaksanakan dengan sempurna sesuai syariat, tanpa melanggar ketentuan ihram.
Pertanyaan:
Apakah Haji Tetap Sah dengan Membayar Dam karena Melanggar Aturan Pakaian Ihram?
Jwaban:
Pertanyaan mengenai sahnya haji seseorang yang melanggar ketentuan pakaian ihram namun telah membayar dam adalah hal yang sering ditanyakan. Dalam syariat Islam, pelanggaran terhadap larangan-larangan ihram memang memiliki konsekuensi dam (denda). Namun, apakah dam tersebut secara otomatis menjadikan ibadah haji sah meskipun ada pelanggaran?
Dasar Hukum dan Pandangan Ulama:
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu perbedaan antara rukun haji, wajib haji, dan sunnah haji.
* Rukun Haji: Adalah amalan-amalan yang jika tidak dilaksanakan, haji seseorang tidak sah dan wajib diulang. Contohnya: niat ihram, wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa'i, dan tahallul.
* Wajib Haji: Adalah amalan-amalan yang jika ditinggalkan, haji seseorang tetap sah namun wajib membayar dam. Jika tidak membayar dam, maka hajinya makruh tahrim. Contohnya: ihram dari miqat, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melontar jumrah, dan tawaf wada'.
* Sunnah Haji: Amalan-amalan yang jika ditinggalkan tidak berdampak pada keabsahan haji maupun kewajiban dam, namun mengurangi pahala.
Mengenakan pakaian ihram bagi laki-laki adalah salah satu wajib haji. Pelanggaran terhadap wajib haji, seperti memakai pakaian berjahit bagi laki-laki saat ihram, berkonsekuensi pada kewajiban membayar dam.
Para ulama madzhab Syafi'i sepakat bahwa meninggalkan wajib haji, baik sengaja maupun karena lupa atau tidak tahu, tidak membatalkan haji. Haji tetap sah, namun pelakunya berdosa jika sengaja dan wajib membayar dam.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, Juz 7, halaman 345, menjelaskan terkait hal ini:
> "Apabila seseorang meninggalkan salah satu wajib haji, maka hajinya sah, namun ia berdosa dan wajib membayar dam (darah, yaitu menyembelih kambing)."
>
Lebih lanjut, dalam kitab I'anatuth Thalibin oleh Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, Juz 2, halaman 305, disebutkan:
> "Barangsiapa meninggalkan wajib haji, maka ia berdosa dan wajib membayar dam, dan hajinya tetap sah."
>
Hal ini berbeda dengan meninggalkan rukun haji. Jika seorang jamaah meninggalkan satu saja rukun haji, maka hajinya tidak sah secara mutlak dan harus diulang, atau ia harus kembali untuk menyempurnakannya.
Analisis dan Kontekstualisasi (Ijtihad Nahdliyah):
Dalam konteks Nahdlatul Ulama, pemahaman tentang rukun dan wajib haji sangat ditekankan. Pelanggaran terhadap larangan ihram, seperti memakai pakaian kerja (yang berjahit) bagi laki-laki saat ihram, termasuk dalam kategori meninggalkan atau melanggar wajib haji.
Seseorang yang melanggar larangan ini, meskipun sudah membayar dam, tetap dianggap telah melakukan pelanggaran syariat. Namun, pembayaran dam tersebut berfungsi sebagai tebusan atau kompensasi atas pelanggaran tersebut, sehingga ibadah hajinya tetap dianggap sah. Dam berfungsi untuk "menutup" kekurangan atau kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun haji sah dengan membayar dam, bukan berarti pelanggaran tersebut dibenarkan. Tindakan sengaja melanggar larangan ihram tanpa alasan syar'i yang kuat tetap dianggap tercela dan mengurangi kesempurnaan ibadah haji, meskipun secara fiqih hajinya sah. Idealnya, seorang Muslim harus berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan seluruh rukun dan wajib haji dengan sempurna tanpa pelanggaran.
Kesimpulan/Jawaban Akhir:
Ya, hajinya tetap sah meskipun ia melanggar ketentuan pakaian ihram (yakni memakai pakaian kerja yang berjahit) dan kemudian membayar dam.
Pembayaran dam berfungsi sebagai tebusan atas pelanggaran wajib haji tersebut. Namun, perlu diingat bahwa keabsahan haji dengan membayar dam tidak berarti pelanggaran tersebut dianjurkan atau dibenarkan. Setiap jamaah haji seharusnya berusaha keras untuk mematuhi seluruh aturan dan larangan ihram demi kesempurnaan ibadahnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar