Menjelang Hari Raya Idul Adha, semangat berkurban membahana di kalangan umat Islam. Berbagai pertanyaan muncul seputar pelaksanaan ibadah mulia ini, salah satunya adalah mengenai hukum qurban bergilir dalam satu keluarga. Praktik qurban bergilir, di mana setiap tahun salah satu anggota keluarga menjadi shahibul qurban (pekurban) atas nama dirinya dan pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga, menjadi fenomena yang lumrah di masyarakat Indonesia. Lalu, bagaimana pandangan fiqh Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah (NU) mengenai hal ini?
Dasar Hukum dan Dalil
Ibadah qurban hukum asalnya adalah sunnah muakkadah, yakni sunnah yang sangat dianjurkan. Dalil-dalil umum tentang qurban antara lain firman Allah SWT dalam Surat Al-Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya: "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah."
Juga hadis Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Artinya: "Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta) namun tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami." (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Pandangan Ulama (Kitab Kuning)
Terkait dengan qurban untuk satu keluarga, para ulama madzhab memiliki beberapa penjelasan. Penting untuk memahami bahwa satu ekor kambing atau domba secara sah hanya untuk satu orang. Namun, terdapat kelonggaran terkait pahala dan niatnya.
Dalam konteks qurban yang pahalanya bisa melingkupi satu keluarga, ulama Madzhab Syafi'i cenderung memandang bahwa qurban kambing hanya sah untuk satu orang. Akan tetapi, pahala qurban tersebut bisa dihadiahkan atau diniatkan untuk seluruh anggota keluarga. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu 'anhu:
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ
Artinya: "Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya. Mereka memakannya dan membagikannya kepada semua orang." (HR. Tirmidzi, ia menilainya shahih)
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab (Juz 8, halaman 397) menjelaskan bahwa ibadah qurban dalam sebuah keluarga itu hukumnya sunnah kifayah. Artinya, jika salah satu anggota keluarga (terutama kepala keluarga) telah berkurban, maka kesunnahan qurban untuk seluruh anggota keluarga telah gugur.
Syekh Sulaiman Al-Bujairami dalam Hasyiyah al-Bujairami 'ala al-Khatib (Juz 1, halaman 374) juga menjelaskan bahwa meskipun secara hakikat satu ekor kambing hanya sah untuk satu orang, namun pahalanya bisa meluas kepada seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama dan ditanggung nafkahnya oleh pekurban. Ini merupakan bentuk tasyrik fil ajr (perserikatan dalam pahala), bukan tasyrik fil milki (perserikatan dalam kepemilikan hewan qurban).
Adapun untuk hewan qurban berupa sapi atau unta, syariat membolehkan patungan hingga tujuh orang. Hal ini didasarkan pada hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَقَضَيْنَا الْحَجَّ ثُمَّ عَاجِلِينَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَكُنَّا عِنْدَهُ وَنَحْنُ سَبْعَةُ رِفْقَةٍ نَشْتَرِي الْبَعِيرَ بِسَبْعَةِ أَبْيَاتٍ وَنَشْتَرِي الْبَقَرَةَ بِسَبْعَةِ أَبْيَاتٍ
Artinya: "Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berihram haji. Maka kami melaksanakan haji. Kemudian kami bergegas ke Madinah. Kami berada di sisinya dan kami adalah tujuh rombongan. Kami membeli unta dengan tujuh rumah dan kami membeli sapi dengan tujuh rumah." (HR. Muslim)
Analisis dan Kontekstualisasi (Ijtihad Nahdliyah)
Dalam konteks NU, praktik qurban bergilir dalam satu keluarga sangat diakomodasi oleh pandangan para ulama yang menyatakan adanya tasyrik fil ajr. Artinya, meskipun secara syariat satu kambing hanya diniatkan oleh satu orang, namun pahala qurbannya dapat diniatkan dan mengalir kepada seluruh anggota keluarga yang tinggal serumah dan ditanggung nafkahnya. Kepala keluarga yang menjadi shahibul qurban di tahun tersebut dapat secara eksplisit menyatakan niatnya agar pahala qurban tersebut juga sampai kepada istri dan anak-anaknya.
Kebiasaan qurban bergilir, misalnya tahun ini ayah, tahun depan ibu, lalu anak pertama, dan seterusnya, bukanlah praktik yang diajarkan langsung oleh Nabi ﷺ. Rasulullah ﷺ sendiri selalu berkurban setiap tahun dan menganggap kurbannya sudah mencukupi untuk seluruh keluarganya. Oleh karena itu, praktik bergilir semacam ini lebih merupakan tradisi masyarakat untuk menjaga semangat berqurban dan memastikan setiap anggota keluarga merasakan "pernah" menjadi shahibul qurban secara nominal, meskipun secara fiqhiyah, kurban kambing tetap dihitung satu orang saja.
Namun, tidak ada larangan atau kemakruhan dalam praktik bergilir ini, selama tidak ada niat yang bertentangan dengan syariat, seperti riya' atau berbangga-bangga. Justru, hal ini dapat memotivasi seluruh anggota keluarga untuk berpartisipasi dan merasakan keberkahan ibadah qurban secara langsung.
Jika ada kemampuan lebih, tentu saja lebih afdal jika setiap individu yang mampu berkurban secara mandiri atas namanya sendiri, atau setiap anggota keluarga berpartisipasi dalam patungan sapi/unta. Namun, jika keterbatasan finansial menjadi kendala, maka model qurban satu kambing diniatkan untuk seluruh keluarga dengan sistem bergilir tetap sah dan mendapatkan pahala.
Kesimpulan/Jawaban Akhir
Hukum qurban bergilir dalam satu keluarga adalah diperbolehkan. Meskipun secara sah seekor kambing hanya untuk satu orang shahibul qurban, namun pahala qurban tersebut dapat diniatkan dan dialirkan kepada seluruh anggota keluarga yang tinggal serumah dan menjadi tanggung jawab nafkah kepala keluarga. Ini dikenal dengan konsep tasyrik fil ajr (perserikatan dalam pahala).
Praktik qurban bergilir ini merupakan manifestasi dari semangat ibadah dan solidaritas dalam keluarga, yang sejalan dengan prinsip kemudahan (taisir) dan kemaslahatan (mashlahah) dalam fiqh Islam, tanpa keluar dari koridor syariat. Yang paling utama adalah niat ikhlas karena Allah dan menunaikan ibadah qurban sesuai dengan kemampuan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar