Notification

×

Iklan

Iklan

Lempar Jumrah Diwakilkan: Bolehkah? Menguak Kontroversi dan Batasan Syariat

Jumat, 06 Juni 2025 | Juni 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-06T07:29:03Z

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang memiliki serangkaian ritual kompleks, salah satunya adalah melempar jumrah. Namun, seringkali muncul pertanyaan di kalangan jemaah haji, terutama mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau kesehatan, "Bolehkah melempar jumrah diwakilkan?" Pertanyaan ini membuka gerbang pada perdebatan fikih yang menarik, di mana ulama memiliki pandangan beragam berdasarkan interpretasi dalil dan kaidah syariat. Mari kita telaah lebih dalam.

Dalil Al-Qur'an dan Hadis: Fondasi Hukum Islam

Secara eksplisit, Al-Qur'an tidak menyebutkan secara langsung mengenai hukum mewakilkan lempar jumrah. Namun, ada ayat-ayat yang menegaskan pentingnya menunaikan ibadah haji dengan sempurna:

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 196:

$ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ $

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”

Ayat ini mengindikasikan perintah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah secara tuntas dan sempurna.

Adapun dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ, terdapat beberapa riwayat yang menjadi landasan pembahasan ini:

  1. Hadis Umum tentang Haji:

    عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"

    Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Kami keluar bersama Nabi ﷺ pada haji wada’, lalu beliau bersabda: ‘Wahai manusia, ambillah dariku manasik (tata cara ibadah haji) kalian’.” (HR. Muslim)

    Hadis ini menegaskan bahwa manasik haji harus dilakukan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi ﷺ.

  2. Hadis tentang Keringanan (Rukhsah):

    عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ رَمَى قَبْلَ أَنْ يُضْحِيَ فَقَالَ: "لا حَرَجَ"، وَعَنْ رَجُلٍ حَلَقَ قَبْلَ أَنْ يَذْبَحَ فَقَالَ: "لا حَرَجَ"، وَعَنْ رَجُلٍ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ فَقَالَ: "لا حَرَجَ"

    Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang seorang laki-laki yang melempar (jumrah) sebelum menyembelih (kurban), lalu beliau bersabda: “Tidak mengapa.” Dan tentang seorang laki-laki yang mencukur (rambut) sebelum menyembelih, lalu beliau bersabda: “Tidak mengapa.” Dan tentang seorang laki-laki yang menyembelih sebelum melempar (jumrah), lalu beliau bersabda: “Tidak mengapa.” (HR. Muslim)

    Hadis ini menunjukkan adanya kemudahan dalam urutan pelaksanaan manasik haji, yang bisa menjadi pijakan untuk mempertimbangkan keringanan lain.

  3. Hadis tentang Uzur:

    عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنْ تَقْدُمَ لَيْلَةَ النَّحْرِ فَتَرْمِيَ جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ قَبْلَ أَنْ تَصِلَ إِلَى مِنًى

    Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata: “Rasulullah ﷺ memerintahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha untuk mendahului pada malam Hari Raya Kurban, lalu ia melempar jumrah Aqabah sebelum sampai ke Mina.” (HR. Abu Daud)

    Hadis ini menunjukkan adanya pengecualian atau keringanan bagi yang memiliki uzur (seperti Ummu Salamah yang sakit atau tua) untuk mendahulukan lempar jumrah. Meskipun bukan delegasi, ini menunjukkan adanya pertimbangan syariat untuk kondisi khusus.

Perbedaan Pendapat Ulama: Antara Keharusan dan Keringanan

Para ulama fikih memiliki pandangan yang beragam mengenai hukum mewakilkan lempar jumrah, yang sebagian besar didasarkan pada penafsiran dalil dan kaidah fikih seperti rukhsah (keringanan) dan masyaqqah (kesulitan).

  1. Imam Syafi'i:

    Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak sah mewakilkan lempar jumrah kecuali bagi orang yang tidak mampu melakukannya sendiri karena uzur syar'i yang kuat, seperti sakit parah atau sangat lemah (lansia). Beliau menyatakan:

    "لا يَجُوزُ أَنْ يَرْمِيَ عَنْ أَحَدٍ إلاّ مَنْ لا يَسْتَطِيعُ الرَّمْيَ بِنَفْسِهِ لِعِلَّةٍ تُخَافُ عَلَيْهِ الْمَشَقَّةُ الْعَظِيمَةُ فِي الرَّمْيِ"

    “Tidak boleh melempar (jumrah) atas nama seseorang kecuali bagi orang yang tidak mampu melempar sendiri karena sakit yang dikhawatirkan akan menimbulkan kesulitan yang besar dalam melempar.”

    (Lihat Al-Umm, Juz 2, Bab Manasik Haji, Halaman 231).

    Pandangan ini menekankan bahwa lempar jumrah adalah ibadah fisik yang harus dilakukan sendiri kecuali ada halangan yang benar-benar tidak bisa dihindari. Jika uzur tersebut hilang, wajib baginya untuk melempar sendiri.

  2. Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi):

    Ulama dari Mazhab Hanafi umumnya membolehkan perwakilan dalam lempar jumrah bagi mereka yang memiliki uzur syar'i, seperti sakit, tua, atau perempuan hamil. Mereka berpendapat bahwa tujuan dari lempar jumrah adalah untuk menunaikan kewajiban, dan jika ada uzur yang menghalangi, perwakilan dapat menggantikan. Dalil mereka merujuk pada prinsip “kemudahan” dalam syariat Islam, di mana Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya. Namun, perwakilan ini haruslah dilakukan oleh seorang jemaah haji yang sudah melakukan lempar jumrah untuk dirinya sendiri.

  3. Imam Malik (Mazhab Maliki):

    Mazhab Maliki cenderung lebih ketat dalam masalah perwakilan ini. Mereka berpendapat bahwa pada dasarnya lempar jumrah tidak boleh diwakilkan, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat ekstrem seperti pingsan, gila, atau sakit parah yang tidak memungkinkan sama sekali. Bahkan dalam kondisi tersebut, ada sebagian ulama Maliki yang tetap menganjurkan untuk berusaha semaksimal mungkin, bahkan jika harus digendong atau dibantu. Ini menunjukkan penekanan pada pelaksanaan ibadah secara langsung oleh jemaah.

  4. Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali):

    Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang mirip dengan Syafi'i, yaitu membolehkan perwakilan bagi yang memiliki uzur syar'i yang menghalangi secara fisik, seperti sakit parah, lumpuh, atau sangat tua. Mereka menekankan bahwa perwakilan harus dilakukan oleh orang yang mampu dan telah menyelesaikan lempar jumrah untuk dirinya sendiri. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan:

    "وَلا يَجُوزُ الرَّمْيُ عَنْ مَرِيضٍ أَوْ ضَعِيفٍ إِلاَّ لِعُذْرٍ شَدِيدٍ"

    “Tidak boleh melempar (jumrah) atas nama orang sakit atau lemah kecuali karena uzur yang sangat berat.”

    (Lihat Al-Mughni, Juz 3, Halaman 456).

Kesimpulan

Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa hukum asal lempar jumrah adalah wajib dilakukan sendiri oleh jemaah haji. Namun, adanya uzur syar'i yang menghalangi kemampuan fisik untuk melempar jumrah menjadi pengecualian yang disepakati oleh sebagian besar mazhab. Uzur ini meliputi sakit parah yang tidak memungkinkan bergerak, sangat tua dan lemah, lumpuh, atau kondisi fisik lain yang benar-benar tidak memungkinkan pelaksanaan secara mandiri.

Penting untuk dicatat bahwa perwakilan lempar jumrah bukanlah kemudahan yang dapat dimanfaatkan sembarangan. Harus ada alasan kuat dan sah secara syar'i. Jika seseorang masih mampu untuk melempar jumrah, meskipun dengan sedikit kesulitan, maka ia wajib melaksanakannya sendiri. Perwakilan hanya menjadi pilihan terakhir ketika tidak ada lagi kemampuan untuk menunaikan ibadah ini secara langsung. Para ulama juga menekankan bahwa orang yang mewakili haruslah seorang jemaah haji yang telah menyelesaikan lempar jumrah untuk dirinya sendiri.


Referensi

  • Al-Qur'an dan Terjemahannya.
  • Shahih Muslim.
  • Sunan Abu Daud.
  • Al-Umm oleh Imam Syafi'i.
  • Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah.
  • Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid oleh Ibnu Rusyd.

Tag

#Haji #LemparJumrah #FikihHaji #PerwakilanHaji #UzurSyar'i #ManasikHaji #HukumIslam #IbadahHaji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update