Notification

×

Iklan

Iklan

"Syukuran Haji: Antara Tradisi, Syariat, dan Hikmah yang Tersembunyi!"

Selasa, 10 Juni 2025 | Juni 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-11T06:45:35Z

Walimah Setelah Haji: Sebuah Tinjauan Ilmiah dalam Perspektif Fiqih Islam

Perjalanan haji adalah puncak ibadah bagi seorang Muslim, impian yang menjadi kenyataan setelah perjuangan spiritual dan fisik yang panjang. Sekembalinya dari Tanah Suci, tak jarang kita melihat tradisi syukuran atau walimah yang diadakan oleh para jamaah haji dan keluarganya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana kedudukan walimah setelah haji ini dalam syariat Islam? Apakah ia merupakan sebuah anjuran, kebiasaan, ataukah justru tidak ada landasan syar'i-nya? Artikel ilmiah ini akan mengupas tuntas permasalahan walimah setelah haji dari berbagai aspek, mulai dari dalil Al-Qur'an dan Hadis, perbedaan pendapat ulama, hingga kesimpulan hukumnya.

Dalil Al-Qur'an dan Keterkaitannya

Secara spesifik, Al-Qur'an tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai anjuran atau kewajiban mengadakan walimah setelah haji. Namun, prinsip dasar dalam Islam adalah bersyukur atas nikmat Allah dan berbagi kebahagiaan. Beberapa ayat Al-Qur'an yang dapat dihubungkan dengan semangat bersyukur dan berbagi ini antara lain:

 * QS. Al-Baqarah: 152:

   "فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ"

   Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.

 * QS. Adh-Dhuha: 11:

   "وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ"

   Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).

Ayat-ayat ini mengisyaratkan pentingnya rasa syukur atas karunia Allah. Ibadah haji adalah nikmat yang agung, dan mengungkapkannya dengan berbagi kebahagiaan melalui walimah dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi syukur, meskipun tidak ada perintah khusus untuk itu.

Dalil Hadis dan Relevansinya

Meskipun tidak ada hadis yang secara langsung memerintahkan walimah setelah haji, ada beberapa hadis yang dapat menjadi landasan umum mengenai anjuran untuk bersedekah, menjamu tamu, dan bersyukur atas nikmat.

 * Hadis tentang anjuran walimah secara umum:

   Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Abdurrahman bin Auf ketika ia menikah:

   "أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ"

   Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing. (HR. Bukhari dan Muslim)

   Hadis ini menunjukkan sunnahnya mengadakan walimah dalam konteks pernikahan. Meskipun konteksnya berbeda, sebagian ulama menarik pelajaran umum bahwa walimah (pesta atau jamuan makan) adalah bentuk syukur dan berbagi kebahagiaan yang dianjurkan dalam Islam.

 * Hadis tentang menjamu tamu:

   Dari Abu Syuraih Al-Khuza'i radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

   "مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ"

   Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. (HR. Bukhari dan Muslim)

   Menjamu kerabat, tetangga, dan teman yang datang untuk mengucapkan selamat atas kepulangan haji dapat dikategorikan sebagai memuliakan tamu.

 * Hadis tentang memberi makan:

   Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma, seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Amal Islam manakah yang paling baik?" Beliau menjawab:

   "تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ"

   Engkau memberi makan, dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal. (HR. Bukhari dan Muslim)

   Hadis ini menganjurkan pemberian makanan sebagai salah satu amal kebaikan dalam Islam.

Perbedaan Pendapat Ulama

Mengenai hukum walimah setelah haji, ulama memiliki beberapa pandangan yang berbeda, yang sebagian besar tidak sampai pada tingkat wajib, namun lebih pada sunnah atau mubah (boleh).

 * Imam Malik:

   Dalam mazhab Maliki, tidak ada riwayat khusus yang menyebutkan anjuran walimah setelah haji. Namun, secara umum, mereka menganjurkan berbagi kebahagiaan dan bersedekah sebagai bentuk syukur. Apabila ada walimah, maka itu termasuk dalam kategori sedekah atau jamuan makan yang mubah.

 * Imam Syafi'i:

   Dalam mazhab Syafi'i, walimah setelah haji tidak memiliki hukum sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) seperti walimah pernikahan. Namun, mengadakan jamuan makan atau sedekah setelah kembali dari perjalanan jauh (termasuk haji) hukumnya adalah mubah (boleh) dan dapat bernilai pahala jika diniatkan sebagai bentuk syukur kepada Allah dan menyenangkan orang lain. Imam Asy-Syirazi dalam kitab Al-Muhazzab (Juz 2, Bab Walimah, Hal. 222) menyebutkan bahwa walimah itu disyariatkan dalam pernikahan dan khitanan, namun tidak menyebutkan secara spesifik untuk haji. Namun, dari prinsip umum mengenai syukur dan berbagi, dapat disimpulkan kebolehannya. Imam Nawawi dalam Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin (Juz 7, Bab Walimah, Hal. 136) juga tidak mengkhususkan walimah setelah haji, namun prinsip syukur dan berbuat baik tetap berlaku.

 * Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbali):

   Mazhab Hanbali juga tidak secara khusus menganjurkan walimah setelah haji. Namun, mereka melihatnya sebagai suatu kebiasaan baik yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas keselamatan dan kesempurnaan ibadah haji. Jika diniatkan sebagai sedekah atau menjamu tamu, maka itu adalah amal kebaikan. Sebagian ulama Hanbali bahkan menyebutkan bahwa tradisi menjamu makan setelah kembali dari perjalanan jauh (disebut naqi'ah atau naqa'ah) adalah sunnah. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni (Juz 7, Bab Al-Walimah, Hal. 237) menyebutkan:

   "وَيُسَنُّ عَمَلُ النَّقِيعَةِ، وَهِيَ الطَّعَامُ يُعْمَلُ لِقَادِمٍ مِنْ سَفَرٍ"

   Dan disunnahkan membuat naqi'ah, yaitu makanan yang dibuat untuk orang yang kembali dari bepergian.

   Ini adalah pendapat yang paling mendekati anjuran walimah setelah haji.

 * Ulama Kontemporer:

   Sebagian besar ulama kontemporer cenderung berpendapat bahwa walimah setelah haji adalah mubah atau sunnah jika diniatkan sebagai bentuk syukur dan tidak memberatkan diri atau riya'. Mereka menekankan pentingnya niat yang tulus dan menghindari pemborosan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dalam Syarh Riyadhus Shalihin (Vol. 3, Bab Menjamu Tamu, hal. 191), menjelaskan bahwa menjamu tamu atau memberikan makanan setelah kembali dari perjalanan adalah sesuatu yang baik dan merupakan bentuk syukur. Namun, ia juga mengingatkan agar tidak terlalu berlebihan.

Kesimpulan

Berdasarkan tinjauan dalil dan pendapat ulama, dapat disimpulkan bahwa walimah atau syukuran setelah haji:

 * Bukanlah suatu kewajiban atau sunnah muakkadah yang diperintahkan secara eksplisit dalam syariat Islam.

 * Hukumnya adalah mubah (boleh) dan dapat menjadi sunnah jika diniatkan sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat disempurnakannya ibadah haji, berbagi kebahagiaan dengan sesama, menjalin silaturahmi, dan bersedekah.

 * Sangat dianjurkan untuk melakukannya tanpa berlebihan (israf) dan tanpa riya'. Niat yang tulus adalah kunci utama.

 * Tradisi ini selaras dengan semangat Islam yang menganjurkan rasa syukur, kepedulian sosial, dan kebersamaan.

Oleh karena itu, mengadakan walimah setelah haji adalah tindakan yang baik dan terpuji selama tidak keluar dari koridor syariat Islam dan dilakukan dengan niat yang benar.

Referensi:

Al-Qur'an dan Terjemahannya

Shahih Bukhari

Shahih Muslim

Al-Muhazzab karya Imam Asy-Syirazi

Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin karya Imam Nawawi

Al-Mughni karya Ibnu Qudamah

Syarh Riyadhus Shalihin karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

#HajiMabrur #WalimahHaji #SyukurNikmat #FiqihIslam #IbadahHaji


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update