Utang piutang adalah salah satu bentuk muamalah yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Dari skala individu hingga negara, transaksi utang piutang seringkali menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan atau mengembangkan usaha. Namun, dalam Islam, ada batasan dan ketentuan syariat yang sangat ketat terkait utang piutang agar tidak terjerumus pada praktik yang diharamkan, terutama riba. Artikel ini akan mengupas tuntas hukum utang piutang dalam Islam, lengkap dengan dalil Al-Qur'an, Hadis, serta pandangan para ulama.
Dalil Al-Qur'an tentang Utang Piutang
Al-Qur'an secara tegas mengatur tentang pentingnya mencatat dan mempersaksikan utang piutang untuk menghindari perselisihan dan kerugian di kemudian hari. Allah SWT berfirman:
\text{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, agar jika salah seorang dari yang dua perempuan itu lupa, maka seorang dari mereka berdua mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kepada tidak ragu-ragu kamu, kecuali jika itu adalah perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu melakukan jual beli. Dan janganlah penulis dan saksi saling menyusahkan. Jika kamu lakukan demikian, maka sesungguhnya itu adalah kefasikan bagimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarkan kepadamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.) (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur'an yang menjelaskan secara detail etika dan prosedur utang piutang, menunjukkan betapa pentingnya menjaga hak-hak dan menghindari perselisihan.
Dalil Hadis tentang Utang Piutang
Banyak hadis Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang keutamaan memberikan utang (qardhul hasan), ancaman bagi yang menunda pembayaran utang, dan pentingnya melunasi utang. Berikut beberapa di antaranya:
* Keutamaan Memberi Utang (Qardhul Hasan):
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ." (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa melepaskan satu kesusahan seorang Mukmin dari berbagai kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari berbagai kesusahan pada hari Kiamat. Dan barangsiapa mempermudah orang yang dalam kesulitan, niscaya Allah akan mempermudah dia di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya.'" (HR. Muslim)
* Ancaman bagi yang Menunda Pembayaran Utang:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ." (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Menunda-nunda (pembayaran utang) bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman.'" (Muttafaq alaih)
* Pentingnya Melunasi Utang dan Akibatnya di Akhirat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ." (رواه الترمذي)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Jiwa seorang Mukmin tergantung karena utangnya sampai utangnya dilunasi.'" (HR. At-Tirmidzi)
عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَلَيْسَ بِهِ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ يَقْضِيهِ، فَإِنَّهُ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَنْ كُلِّ دِينَارٍ وَدِرْهَمٍ." (رواه الطبراني)
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan mempunyai utang dan dia tidak memiliki dinar atau dirham untuk melunasinya, maka sungguh dia akan ditanya pada hari Kiamat tentang setiap dinar dan dirham (yang menjadi utangnya).'" (HR. At-Thabrani)
Perbedaan Pendapat Ulama dalam Beberapa Aspek Utang Piutang
Meskipun prinsip dasar utang piutang jelas, ada beberapa perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai detail pelaksanaannya:
1. Hukum Menarik Manfaat Tambahan dari Utang (Selain Pokok Utang)
Secara umum, para ulama sepakat bahwa menarik manfaat atau tambahan dari utang pokok adalah riba dan hukumnya haram. Namun, ada beberapa nuansa yang menimbulkan perbedaan pandangan:
* Imam Syafi'i dalam Kitab Al-Umm Juz 3, Bab Hutang, Halaman 231 menegaskan bahwa:
\text{كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا}
“Setiap pinjaman yang mendatangkan keuntungan (bagi pemberi pinjaman), maka itu adalah riba.”
Pandangan ini sangat ketat, mencakup segala bentuk keuntungan baik materiil maupun non-materiil, seperti syarat untuk menjual barang kepadanya dengan harga murah, atau memberikan hadiah secara sukarela yang menjadi kebiasaan karena utang tersebut.
* Imam Malik dalam Al-Muwatta' Juz 2, Bab Hutang, Halaman 660 cenderung lebih fleksibel pada beberapa kasus hadiah yang tidak disyaratkan sebelumnya, namun tetap dengan prinsip kehati-hatian. Beliau membedakan antara hadiah yang diberikan sebelum utang (dianggap suap) dan hadiah yang diberikan setelah pelunasan utang atau sebagai tanda terima kasih yang tidak disyaratkan dan bukan kebiasaan yang terjadi karena utang.
* Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal juga memiliki pandangan serupa dengan Imam Syafi'i yang melarang segala bentuk penarikan manfaat dari utang. Mereka berpegang pada prinsip bahwa tujuan utang adalah tolong-menolong (tabarru'), bukan mencari keuntungan.
2. Batas Waktu Pembayaran Utang
Para ulama sepakat bahwa utang harus memiliki jangka waktu yang jelas dan disepakati. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai perlakuan terhadap orang yang kesulitan membayar.
* Mayoritas ulama (Jumhur) berpendapat bahwa jika orang yang berutang benar-benar dalam kesulitan (tidak mampu), maka pemberi utang wajib memberikan penundaan hingga dia mampu. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:
\text{وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ}
(Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.) (QS. Al-Baqarah: 280)
* Namun, jika orang yang berutang mampu namun menunda-nunda, maka berlaku hadis Nabi: "مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ" (Menunda-nunda bagi orang yang mampu adalah kezaliman), dan pemberi utang berhak menuntut pelunasan bahkan melalui jalur hukum.
3. Utang dalam Bentuk Barang (Misalnya Emas atau Perak)
Dalam konteks utang piutang barang, para ulama sepakat bahwa pengembalian harus dengan jumlah dan kualitas yang sama dengan yang dipinjam.
* Imam Syafi'i dan Imam Hanafi menekankan prinsip mitsliyyah (keserupaan). Jika meminjam 10 gram emas 24 karat, maka harus dikembalikan 10 gram emas 24 karat, bukan uang senilai emas tersebut pada saat pelunasan jika nilai emas telah berubah. Hal ini untuk menghindari ketidakadilan dan potensi riba (jika nilai berubah).
* Sebagian ulama kontemporer memberikan kelonggaran dalam kasus tertentu untuk mengembalikan utang dengan nilai uang jika disepakati sejak awal, terutama untuk menjaga keadilan dalam kondisi fluktuasi nilai mata uang atau barang yang signifikan. Namun, pendapat ini tetap membutuhkan kehati-hatian agar tidak terjerumus pada riba.
Kesimpulan
Utang piutang dalam Islam adalah akad tolong-menolong yang mulia, namun harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan sesuai syariat. Pentingnya pencatatan, kesaksian, dan pelunasan tepat waktu adalah prinsip-prinsip fundamental yang diajarkan Al-Qur'an dan Hadis. Praktik riba dalam bentuk apa pun, baik penambahan dari pokok utang maupun penarikan manfaat lainnya, secara mutlak diharamkan oleh seluruh ulama. Perbedaan pandangan ulama umumnya terletak pada detail implementasi yang perlu dipahami agar umat Islam dapat bertransaksi utang piutang secara syar'i dan terhindar dari dosa.
Referensi:
* Al-Qur'an Al-Karim
* Shahih Muslim, Imam Muslim
* Shahih Bukhari, Imam Bukhari
* Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi
* Al-Mu'jam Al-Kabir, At-Thabrani
* Al-Umm, Imam Syafi'i
* Al-Muwatta', Imam Malik
* Fatawa Syar'iyyah fi al-Qardh wa al-Dayn, Dr. Yusuf Al-Qardhawi
* Al-Mughni, Ibnu Qudamah
#UtangPiutang #FiqihMuamalah #HukumIslam #Riba #QardhulHasan #EkonomiSyariah

Tidak ada komentar:
Posting Komentar